Mengadaptasi cerpen Inem karya Pram ke atas panggung
Selain "Tetralogi Buru" yang telah populer dipanggungkan dan difilmkan, cerita pendek "Inem" karya Pramoedya Ananta Toer juga memiliki daya pikat tersendiri untuk dipentaskan ke atas panggung. Cocok untuk sutradara dan pelatih teater yang mencari naskah pendek minimalis berdurasi 30-40 menit.
TEATER
Deandra Syarizka
6/1/20253 min read


Akhir 2024, aku mendapatkan sebuah permintaan untuk terlibat dalam pembacaan dramatik karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Permintaan itu datang dari Haikal, seorang kepala sekolah kelas akting di Titimangsa Foundation, tempat aku mengenyam kelas akting pada 2020.
Awalnya Haikal memintaku untuk membacakan cerpen di Kumpulan Cerpen "Cerita dari Jakarta", sebab karya itu pernah dialihwahanakan oleh Titimangsa Foundation. Yayasan itu juga pernah memanggungkan Bunga Penutup Abad, adaptasi dari Tetralogi Buru, karya paling terkenal dari Pram.
Namun, hal itu urung kulakukan. Pertimbangannya, aku justru ingin mengangkat karya Pram yang belum pernah dialihwahanakan, namun cukup realistis untuk digarap dalam sebulan. Setelah berkonsultasi dengan Yogi--suamiku, yang juga pelatihku dan penggemar karya Pram--aku akhirnya membaca kumpulan cerpen "Cerita dari Blora".
Aku langsung terpaku pada cerpen berjudul Inem. Cerpen itu mengisahkan tentang perkawinan anak; bagaimana Inem, anak seorang pelayan, akan dikawinkan di usianya yang baru menginjak 12 tahun. Sebagai anak dari keluarga miskin, orang tua Inem berharap perkawinan itu akan mengubah nasib perekonomian keluarganya menjadi lebih baik.
Sayang, yang terjadi justru sebaliknya. Inem yang masih kecil itu justru menjadi korban kekerasan suaminya. Di usianya yang masih belasan, ia menjadi janda. Statusnya itu menjadi aib yang terpaksa ia pikul, menjadi warga kelas dua di masyarakat. Inem tak diterima untuk kembali bekerja di rumah Ndoro, dan tak diterima pula untuk kembali ke rumah keluarganya.
Demikianlah, kisah Inem seakan meminta padaku untuk dipanggungkan.
Mengalihwahanakan = menyesuaikan teknis
Hal selanjutnya yang aku pikirkan adalah bagaimana teknis pemanggungannya. Dalam cerpen, Inem dikisahkan oleh Muk, anak lelaki Ndoro yang sebaya dengan Inem.
Namun, aku tak ingin melibatkan anak-anak dalam pembacaan dramatik nanti. Meskipun kisah ini menyinggung soal anak, namun kisahnya tak ramah anak dan mengandung unsur kekerasan.
Alasan teknis kedua, aku akan memanggungkan karya ini dengan teman-teman Teater Satori, yang kebanyakan anggotanya adalah perempuan.
Setelah memutar otak, aku pun memutuskan untuk mengganti sudut pandang pemanggungan. Dari sudut pandang Muk, aku mengadaptasi cerpen ini menjadi naskah drama dari sudut pandang Ndoro--seorang perempuan kaya, yang awalnya menentang perkawinan Inem, namun akhirnya menerimanya.
Meskipun aku mengubah sudut pandang, namun sesungguhnya tak banyak yang aku ubah dari cerpen itu. Cerpen Inem pada dasarnya berisi potongan dialog sesuai karakter, berbeda dengan cerpen Pram lain yang didominasi oleh narator.
Struktur dramatiknya pun tak ada yang kuubah. Alur pada cerpen tetap kupertahankan menjadi alur saat pemanggungan. Proses alih wahana ini memakan waktu kurang lebih dua minggu.
Ternyata, aku bisa juga mengadaptasi dan mengalihwahanakan cerita pendek menjadi naskah drama, sekaligus memanggungkannya. Kenapa hal ini tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya ya?
Proses mengalihwahanakan yang singkat tapi selesai ini cukup melegakan. Awalnya aku cukup ragu, sebab saat ini aku pun sedang menulis sebuah naskah drama yang belum juga rampung sejak pertama kali kutulis sejak pandemi.
Latihan pembacaan dramatik
Awalnya kami berniat memanggungkannya menjadi monolog. Namun, proses latihan yang singkat (kurang lebih satu bulan) sangatlah kurang dari cukup untuk membuat karya teater yang pantas untuk ditonton.
Akhirnya, kami memilih untuk membacakannya secara dramatik. Riri berperan sebagai Ndoro. Inem diperankan oleh Lidya. Aku berperan menjadi Si Mbok -- ibunya Inem. Dimas, menjadi penata musik dan membacakan dialog Muk.
Dalam perkembangannya, naskah monolog Cerita tentang Inem ini aku buat menjadi dua versi, versi pendek dan versi panjang. Versi pendeklah yang kami bacakan saat pembacaan dramatik. Sementara versi panjang, kami simpan dulu untuk kami panggungkan suatu saat nanti.
Meskipun judulnya pembacaan dramatik, kami latihan cukup serius; menggunakan, kostum, make-up, blocking, dan properti.
Sebagai aktor, aku sempat meminta bantuan Ain, teman kantorku, untuk merekam suaranya ketika berbicara Jawa. Dari sanalah aku coba praktikkan dialek Jawa. Tidak sempurna sih, tapi ya lumayanlah wkwkwk.
Sebagai sutradara, aku bersyukur dengan komitmen teman-teman untuk latihan. Saat pentas pun, banyak bantuan yang kami peroleh: Kak Sari tanpa diminta membawa kain-kain batik Jawa dan alat make-up, memakaikan sanggul (aku sungguh terharu). Kak Elzan pun berinisiatif membawa set lampu. Fiezu pun datang menyaksikan. Zhilal sebagai pimpinan produksi juga memberikan banyak dukungan. Ihsan juga hadir menjadi kru panggung.
Pembacaan dramatik itu hanyalah pentas sederhana. Namun, dari yang sederhana itulah aku temukan keindahan. Membuatku tumbuh dan mekar. Semoga teman-teman juga.
Sampai jumpa pada karya selanjutnya.
P.S: Bila teman-teman tertarik untuk membaca naskah "Cerita tentang Inem", silakan isi formulir pada situs ini ya, akan aku bagikan naskahnya via e-mail. Tabik.






