Menjadi moderator adalah soal jam terbang

Jam terbang menjadi kunci utama dalam meningkatkan keterampilan berbicara di depan umum, termasuk menjadi moderator diskusi panel. Pengalaman yang dilalui memberikan pelajaran berharga untuk membekali diri dalam acara publik lainnya di masa depan.

PUBLIC SPEAKING

Deandra Syarizka

1/10/20252 min read

Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan seorang kawan lama di acara pernikahan salah seorang teman. Dalam sebuah perbincangan, ia mengingatkanku dengan diriku di masa lampau, sekaligus membuatku sadar mengenai progres yang kulalui.

"Inget banget dulu Izka klo presentasi di depan selalu gemeteran tangannya," ujarnya.
"Sekarang sih udah jago ya, udah kayak Najwa Shihab," tambahnya.

Aku hanya tertawa mendengarnya. Pertama, karena ini sudah kesekian kalinya dibilang mirip sama Mbak Nana (kasihan Mbak Nana). Kedua, karena pernyataan itu membuatku sadar dan teringat masa lalu.

Aku pertama kali belajar berbicara di depan umum saat mata kuliah public speaking sebanyak 3 SKS saat tahun pertama menempuh pendidikan sarjana ilmu komunikasi di Fikom Unpad pada 2008. Saat itu setiap mahasiswa diwajibkan membentuk kelompok yang terdiri dari dua orang, lalu mempresentasikan topik yang menarik.

Aku satu kelompok dengan sahabatku--yang telah lebih berpengalaman soal tampil di depan umum; ia menjadi penyiar radio saat SMA, pemenang kontes kecantikan, jago MC, sedangkan aku adalah seorang introvert tulen. Saat itu aku juga belum berpengalaman bermain teater, sehingga pengalaman tampil di depan publik--meskipun dalam lingkup kelas, benar-benar mulai dari 0.

Aku ingat kami mempresentasikan topik mengenai operasi plastik. Tren di Hollywood saat itu menuntut para aktris untuk mengubah penampilannya melalui operasi plastik; sesuatu yang saat ini kembali populer dilakukan bahkan oleh selebriti Indonesia. Kami mempresentasikan macam-macam operasi plastik dan dampaknya.

Aku ingat betul tangan dan suaraku gemetaran. Sepertinya orang yang duduk paling belakang pun bisa melihat gerakan tanganku yang gemetar memegang kertas presentasi. Aku menghindari menatap audiens--yang cuma teman-teman kelasku. Saat itu berbicara di depan publik sangat menakutkan, karena di dalam kepalaku: aku merasa dihakimi oleh semua yang menatap. Aku tidak punya kepercayaan diri.

Hingga akhirnya aku memilih profesi sebagai jurnalis selepas lulus kuliah. Pengalaman bertemu banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat, mewawancarai mereka, membuatku nyaman dan perlahan menikmati sesi obrolan dengan para narasumber ini. Aku merasa pengetahuanku bertambah, aku merasa dibayar untuk belajar.

Dari profesi menjadi jurnalis ini pula yang membukakan jalan pada kesempatan untuk berbicara di depan publik. Kesempatan pertama datang saat aku bertugas di Manado (bisa dilihat di portfolioku). Aku diminta oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Utara untuk berbagi cara mengolah data statistik menjadi sebuah berita, kepada teman-teman pelajar SMA.

Rasa gugup itu tentu masih ada. Tetapi seiring dengan berlalunya satu acara, aku merasa bersyukur dan lega; ternyata tak seburuk yang kupikirkan.

Lalu kesempatan demi kesempatan datang lagi. Kadang menjadi moderator untuk diskusi panel yang sesuai dengan topik liputanku, kadang dari hobi dan aktivismeku. Semua berjalan dengan baik, meskipun bukannya tanpa tantangan sama sekali.

Yang ingin aku katakan adalah; bila kamu saat ini belum memiliki kepercayaan diri untuk tampil di depan publik, tidak apa-apa. Tetapi, bila ada kesempatan yang datang padamu, ambillah. Itu adalah momentum untukmu bertumbuh dan berkembang. Bila kamu menyukainya, kamu bisa terus melakukannya. Bila tidak, setidaknya kamu belajar sesuatu.

Aku tidak pernah menyadari sejauh mana perkembanganku berbicara di depan umum hingga aku bertemu dengan temanku. Pertemuan dengan teman lama memang bisa membawa nostalgia dan refleksi mengenai diri kita di masa lampau. Kadang-kadang kita tidak pernah menghitung seberapa jauh kita melangkah, hingga bertemu dengan teman seperjalanan dulu.