Trem Bernama Desire yang Terus Melaju
Pertunjukan Trem Bernama Desire yang digarap oleh Salindia Teater seyogianya dipersiapkan untuk bertanding pada final Festival Teater Jakarta 2024. Nahas, lajunya sempat tersandung kasus pelecehan yang dialami oleh sang sutradara.
TEATER
Deandra Syarizka
12/29/20243 min read


Sebuah panggung kecil. Di atasnya terdapat satu set meja makan di ruang tamu, meja kecil dengan beberapa dekorasi, sebuah kursi kecil, dan pintu. Para aktor perlahan mengisi ruang panggung, membangun suasana suburban di Amerika.
Blanche Dubois–diperankan Nadine Nadilla, memasuki area pertunjukan dari pintu samping pertunjukan Atamerica. Dengan mengenakan busana yang rapi, kalung mutiara, ia membawa koper berisi busana. Ia tampak kebingungan mencari alamat, sekaligus ragu, seakan meyakinkan dirinya sendiri benar atau tidak alamat yang ditujunya.
Rupanya ia mencari alamat adik perempuannya, Stella– diperankan Litany Nainggolan. Berkat bantuan Eunice Hubbel–diperankan Gloria Sisti, Blanche akhirnya menemukan alamat yang dituju. Ia pun bertemu dengan Stella.
Mereka berpelukan dan bertukar kabar. Suasana menyenangkan hingga akhirnya Blanche memberi tahu Stella bahwa mereka telah kehilangan Belle Reve, rumah masa kecilnya. Rumah itu telah dijual untuk menutupi biaya pemakaman keluarganya. Stella yang miskin dan hamil telah kehilangan warisannya.
Demikian nukilan pertunjukan Trem Bernama Desire yang dipentaskan oleh Salindia Teater di @america Pacific Place, Jakarta, Jumat (11/10). Naskah klasik karya Tennessee Williams ini diterjemahkan kembali oleh Litany Nainggolan dan Nadine Nadilla yang sekaligus berlaku sebagai sutradara. Alih-alih melakukan adaptasi dan menambahkan unsur lokal, mereka tetap bersetia pada latar tempat dan waktu yang ada dalam naskah.
Pada film Streetcar Named Desire (1951) yang dibintangi Marlon Brando, sutradara Elia Kazan mengubah transportasi streetcar menjadi bis. Sementara dalam pertunjukan Salindia, Nadine dan Litany tetap bersetia dengan istilah trem.
Naskah Streetcar Named Desire juga pernah dipentaskan oleh Lembaga Teater Perempuan (LTP) MAS Yogyakarta bekerja sama dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL) Angkatan 49 di Balai Sarbini, Jakarta, pada Maret 2020. Saat itu, pertunjukan menggunakan judul “Pusaran Cinta” yang merupakan tafsir baru terjemahan Toto Sudarto Bachtiar.
“Keberadaan gawai dan mesin pencarian membuat audiens saat ini bisa mendapatkan bayangan mengenai bentuk trem atau streetcar dengan mudah, sehingga pilihan Salindia untuk tetap menggunakan istilah trem, menjadi tawaran baru dalam penerjemahan naskah Tennessee Williams,” ungkap pengamat teater Joned Suryatmoko saat sesi diskusi. Ia merupakan kandidat doktor di Theatre and Performance Program the Graduate Center City University of New York (CUNY).
Terpaan Laju Trem Bernama Desire
Salindia hanya menampilkan dua potongan adegan dari total dua jam pertunjukan. Nukilan tersebut memang dimaksudkan sebagai teaser dari pertunjukan tunggal mereka nanti. Tidak banyak yang bisa diulas dari potongan pertunjukan berdurasi sekitar setengah jam itu.
Bagi saya, yang menarik dari showcase itu adalah peristiwa yang menyertainya. Showcase itu sejatinya dimaksudkan sebagai rangkaian acara menuju final Festival Teater Jakarta (FTJ)2024, sebelum akhirnya mereka mengundurkan diri.
Ya. Salindia Teater yang lolos sebagai finalis dari Jakarta Pusat akhirnya menempuh jalan lain untuk mementaskan karyanya. Penyebabnya adalah pelecehan verbal yang dialami oleh sangsutradara saat menggugat kecurangan yang dilakukan oleh Joind Bayuwinanda (sebagaimana tercantum dalam keterangan resmi DKJ) , sutradara SAJ, yang juga menjadi salah satu peserta FTJ 2024.
Nadine menggugat peserta yang menyalahi aturan batas usia. Aturan FTJ hanya memperbolehkan peserta dengan usia maksimal 40 tahun. Joind jelas lebih tua dari itu. Nadine mempertanyakannya kepada panitia, yang disambut dengan audiensi.
Dalam audiensi yang seharusnya hanya berlangsung antara Salindia dan panitia, Joind meringsek masuk. Dengan gaya seniornya, ia berkata “Gue janji malam ini gue mau menelanjangi Nadine,” yang disambut dengan tawa dari panitia.
Tentu saja makna “menelanjangi” yang dimaksud, bukan secara harfiah–seperti halnya pembelaan pelaku di media sosialnya. Akan tetapi, kalimat yang bermaksud “mengungkap rahasia” itu tetap sarat dengan nuansa pelecehan, merendahkan, dan objektivikasi perempuan. Terlebih diucapkan oleh senior laki-laki kepada junior perempuan, di ruangan yang penuh dengan laki-laki. Tertawa dengan lelucon semacam itu sama saja menormalisasi rape culture, budaya yang mewajarkan kekerasan seksual.
Pelecehan dan kekerasan seksual sarat dengan relasi kuasa. Pelaku biasanya adalah seseorang yang (merasa) memiliki otoritas, kekuatan, dan pengaruh yang lebih tinggi ketimbang korban. Ia mendapatkan kepuasan dari ketidakberdayaan korban.
“But he’s messing with the wrong person,” ungkap Nadine, saat makan malam usai showcase pertunjukannya.
Nadine melawan. Ia menyatakan mundur dari FTJ dan speak up mengenai kejadian tersebut. Tak mudah bagi korban pelecehan untuk melawan, sebab sesungguhnya yang ia lawan bukan hanya pelaku, tetapi juga status quo.
Dalam prosesnya untuk melawan atau mendapatkan keadilan, korban harus menjelaskan kronologi berulang-ulang kepada berbagai pihak yang berbeda. Setiap kali korban bercerita, ia akan kembali berhadapan dengan trauma yang belum sembuh.
Maka, kehadiran saya dalam momen showcase itu bukan sebagai penonton, melainkan lebih sebagai teman dan sesama perempuan. Saya pun ingin menunjukkan solidaritas, seperti yang dilakukan oleh lebih dari 10 asosiasi ataupun kelompok teater yang merilis pernyataan sikapnya untuk kasus ini.
Terbukti, solidaritas dan tekanan publik itulah yang mendorong panitia FTJ untuk evaluasi. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) akhirnya mengeluarkan sikap tegasnya, menganulir kepesertaan SAJ, memberikan pendampingan bagi korban, tidak memberikan ruang bagi pelaku dalam acara kesenian DKJ, hingga membentuk kode etik dan pakta integritas.
Peristiwa ini mengingatkan saya bahwa teater belum sepenuhnya menjadi ruang yang aman bagi perempuan. Jangan-jangan, ini hanya puncak dari gunung es yang belum terkuak?