Perjalanan baru Trem Bernama Desire
Setelah sempat mengerem lajunya, Trem Bernama Desire kembali melanjutkan perjalanannya. Salindia menonjolkan kekuatan persaudaraan, hubungan penuh hasrat, hingga pertentangan kelas yang diwarnai dengan isu kesehatan jiwa.
TEATER
Deandra Syarizka
2/14/20254 min read


Panggung proscenium Graha Bhakti Budaya malam itu dibagi menjadi tiga bagian. Sisi kiri memperlihatkan sebuah rumah tingkat dengan tangga yang terletak di persimpangan sebuah rumah kecil. Sisi tengah panggung adalah sebuah ruang tamu kontrakan, lengkap dengan meja dan perabotannya, serta sebuah sofa. Sisi kanan panggung adalah sebuah kamar tidur kecil, yang dipisahkan dengan sebuah tirai putih dengan ruang tengah.
Blanche Dubois–diperankan Nadine Nadilla, memasuki panggung melalui gang French Quarter di sisi kiri. Dengan mengenakan busana yang rapi, kalung mutiara, ia membawa koper berisi busana. Ia tampak kebingungan mencari alamat, sekaligus ragu, seakan meyakinkan dirinya sendiri benar atau tidak alamat yang ditujunya.
Rupanya ia mencari alamat adik perempuannya, Stella– diperankan Litany Nainggolan. Berkat bantuan Eunice Hubbel–diperankan Ilona Ardanari, Blanche akhirnya menemukan alamat yang dituju. Ia pun bertemu dengan Stella.
Mereka berpelukan dan bertukar kabar. Suasana menyenangkan hingga akhirnya Blanche memberi tahu Stella bahwa mereka telah kehilangan Belle Reve, rumah masa kecilnya. Rumah itu telah dijual untuk menutupi biaya pemakaman keluarganya. Stella yang miskin dan hamil telah kehilangan warisannya.
Masalah kemudian muncul ketika Stanley, suami Stella–diperankan Firqi Hidayatullah, mempermasalahkan bagian warisan yang sejatinya menjadi milik Stella, namun hilang karena rumahnya telah dihilangkan oleh Blance. Berbekal pemahamannya mengenai kode Napoleon, dia merasa harta istrinya adalah hartanya juga, sehingga ia pun merasa tertipu dan kehilangan hak atas warisan rumah keluarga Stella.
Adegan itu menjadi pembuka pertunjukan Trem Bernama Desire yang dipentaskan oleh Salindia Teater di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Sabtu (18/1). Setelah sempat mengerem lajunya akibat terganjal kasus FTJ (baca kronologinya di sini), pertunjukan yang disutradarai oleh Nadine Nadilla itu kembali melanjutkan perjalanannya.
Hasrat dalam Hubungan Toksik
Salah satu adegan pertunjukan Trem Bernama Desire/Dok.Izka
Ensambel permainan antara Blanche, Stella dan Stanley menjadi tulang punggung cerita Trem Bernama Desire. Kepiawaian Nadine, Litany dan Firqi dalam menubuhkan sekaligus menjiwai karakter menjadi modal utama pertunjukan yang berlangsung selama dua jam itu. Chemistry yang mereka bangun memberikan cukup alasan bagi penonton–setidaknya saya– untuk bertahan menyaksikan pertunjukan sampai akhir.
Relasi romansa antara Stella dan Stanley digambarkan sebagai hubungan yang penuh hasrat namun sarat kekerasan. Sebagai lelaki, pekerja pabrik yang kasar, pemabuk, pemain poker, Stanley tak segan untuk melakukan kekerasan kepada Stella yang protes atas kelakuan suaminya bermain poker tanpa kenal waktu.
Lalu, ketika Stella membalas dan kabur dari rumahnya, Stanley yang tengah mabuk akan menangis meraung-raung, memohon Stella untuk kembali ke pelukannya. Stella, yang dimabuk cinta pun kembali ke pelukan Stanley, hanya untuk mengalami lingkaran hubungan toksik yang berulang. Semenarik itukah lelaki red flag, Stella?
Stella barangkali adalah representasi kecil dari posisi perempuan dalam KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Dalam KDRT, pelaku menggunakan kekerasan untuk memelihara relasi kuasa yang dominan sekaligus mengontrol korban, sedangkan korban kerap menyangkal untuk menyadari posisinya sebagai korban.
Anakronisme Pemanggungan
Salindia Teater memilih untuk tidak mengadaptasi naskah Trem Bernama Desire ke dalam konteks lokal. Meskipun, menurut Prof. Melani Budianta dalam diskusi sehari sebelum pertunjukan, menyatakan bahwa situasi kehidupan French Quarter dengan perkawinan campur antar kelas-pekerja, sebetulnya banyak terjadi di Indonesia.
“Mengadaptasi naskah ke dalam konteks Indonesia bisa membuat narasi terasa lebih dekat dengan penonton. Misalnya, bisa saja Stanley adalah karyawan pabrik, orang Batak, yang menikah dengan orang Betawi,” ujarnya.
Salindia Teater tetap mempertahankan latar tempat New Orleans pada 1950-an. Hal itu diwujudkan melalui set panggung yang dibangun oleh Arya Putra dan timnya, yang cukup menggambarkan suasana French Quarter, juga berkat ensambel warga French Quarter yang lalu-lalang sepanjang pertunjukan.
Sayangnya, saya berada pada sisi kiri area penonton ketika menyaksikan pertunjukan. Alhasil, saya cukup kesulitan menyaksikan adegan-adegan penting yang terjadi di kamar Stella yang berada di sisi paling kanan panggung. Terlebih beberapa blocking Blanche banyak yang berada di sudut paling kanan kamar.
Penerjemahan naskah dilakukan langsung oleh Litany dan Nadine. Sebagian besar kalimat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, namun sebagian kalimat dipertahankan dalam Bahasa Inggris.
Bagi sebagian penonton, bahasa campur-aduk ini mengingatkan mereka dengan bahasa gaul ala Jaksel (baca: Jakarta Selatan). Masalahnya, tak semua aktor memiliki kemampuan melafalkan Bahasa Inggris yang sama baiknya, apalagi Bahasa Inggris dengan logat New Orleans. Hal ini kurang selaras dengan upaya sutradara untuk setia pada latar naskah.
Anakronisme juga terlihat pada pilihan musik. New Orleans pada 1950-an dikenal sebagai penghasil musik jazz, dixieland, blues, RnB. Pilihan musik pada pementasan Salindia malam itu didominasi oleh pop, dan bahkan latin, dengan lagu Copacabana diperdengarkan secara penuh.
Copacabana yang ditulis dan dinyanyikan oleh Barry Manilow baru dirilis pada 1978. Dalam pertunjukan, lagu ini seolah diputar pada radio saat Stanley dkk tengah bermain poker sambil mabuk. Lagu itu seperti dimaksudkan untuk membangun suasana ceria saat Stanley berkumpul dengan teman-teman. Namun, lagi-lagi, kurang selaras dengan latar tempat dan waktu yang tengah dibangun.
Padahal, modal besar Salindia–seperti yang pernah saya tuliskan sebelumnya–adalah keaktoran dan musik. Dengan penata musik yang cukup lengkap—dikomandoi oleh Refo Trixy,dengan timnya Rico Alexander, Mario Gilbert, Gregorius Adi, Andreas Marcello dan Ridho Uffair— dan kemampuan yang mumpuni, saya pikir potensi para pemusik ini kurang dioptimalkan. Salindia sangat mampu menghadirkan musik live jazz ala new Orleans.
Sisterhood Ala Salindia
Yang menjadi highlight dalam pertunjukan ini adalah chemistry antara Blanche dan Stella. Persaudaraan antara dua perempuan yang memilih jalan hidup yang berbeda, yang diwarnai dengan pertentangan kelas, isu kesehatan mental, digambarkan dengan sangat baik oleh Nadine dan Litany.
Relasi kakak-beradik yang penuh dinamika–kebahagiaan, haru, hingga kesedihan menjadi warna dominan dalam pertunjukan ini. Persaudaraan itu mengalami pertentangan dengan maskulinitas rapuh yang dimiliki oleh Stanley—yang memanfaatkan gangguan jiwa Blanche untuk memperkosanya, lalu memanipulasi Stella dengan mengatakan bahwa semuanya hanya khayalan Blanche.
Stella, sebagaimana biasanya, selalu kembali ke pelukan Stanley. Penyesalannya baru muncul ketika melihat saudarinya dipaksa pergi dari sisinya dengan cara yang mengenaskan–dipaksa masuk ke Rumah Sakit Jiwa, tanpa persetujuan.
Tangisan Stella menyayat hati penonton ketika melihat kepergian Blanche yang dipaksa ke Rumah Sakit Jiwa, setelah diperdaya lebih dulu oleh Stanley dan rekannya yang berpura-pura menjadi nahkoda kapal pesiar khayalan Blanche. Ada kemarahan dan ketidakberdayaan dalam suara tangisan itu, bagaimana nasib dua perempuan yang menjadi tokoh utama dalam lakon ini, tetap ada dalam genggaman laki-laki.




Foto bersama dengan Litany dan Nadine usai pertunjukan/Dok.Nurul

